19 September 2015

Bersyukur, Bersabar dan Berusaha Menurut Islam

"Rasulullah mengagumi seorang mukmin yang bila ia memperoleh kebaikan, ia memuji Allah dan bersyukur. Bila ia ditimpa musibah, ia memuji Allah dan bersabar." ( HR.Ahmad)

Image by: wallpapers2015.mobi

Bersyukur

Sadar atau tidak setiap orang pasti mempunyai banyak cerita indah dalam hidupnya. Seperti menemukan kebahagiaan dalam keluarga, atau dalam pekerjaan, atau dari lingkungan sekitar. Tapi terkadang hal tersebut membuat kita suka melupakan beberapa hal penting yang harus kita lakukan, seperti mensyukurinya dan menyadari bahwa segala kebahagiaan yang sekarang kita rasakan adalah sebuah titipan dari Allah yang sewaktu-waktu bisa saja di ambil.

Artikel serupa: Apakah bersyukur cukup dengan mengucap Alhamdulillah?

Pernahkah kita menyadari bahwasannya ujian kebahagiaan itu ternyata jauh lebih sulit daripada ujian kesusahan, karena dalam ujian kebahagiaan kita akan lebih mudah terlena dalam kebahagiaan tersebut dan melupakan Allah, sedangkan dalam ujian kesusahan kita akan lebih banyak berdoa dan mengingat Allah.

Kebanyakan dari kita selalu melihat ke atas, dan sangat jarang untuk melihat ke bawah. Hal tersebutpun kadang mengelilingi kepala kita, saat kita susah kita menyalahkan Tuhan, tetapi ketika kita bahagia kita lupa pada Tuhan. Kenapa kita selalu komplain, tetapi sangat jarang bersyukur?

Rasulullah lebih sering mengingatkan kita tentang betapa indahnya sebuah rasa syukur.
"Sesungguhnya bersyukur akan menambah kenikmatan Allah, dan perbanyaklah berdoa."  (HR.Ath-Thabrani)
Dan satu hal yang harus kita fahami adalah: bukan sebuah kebahagiaan yang akan membuat kita bersyukur, tapi bersyukur-lah yang akan membuat kita bahagia.


Bersabar

Pada dasarnya, antara kebahagiaan dan kesusahan adalah salah satu bentuk kasih sayang yang di berikan Allah kepada hambanya, tapi yang terjadi kebanyakan setiap seseorang menemukan sebuah kesusahan atau kesulitan dalam kehidupannya, dia lebih suka untuk berburuk sangka dan sangat sulit menerima kesabaran dalam hidupnya.

Ketika kesusahan menghampirinya, seseorang lebih mudah melihat hidupnya dari kacamata kesulitan, hal ini sangat buruk. Ketika kita menghadapi banyak permasalahan-permasalahan hidup beberapa hal negatif akan menghantui fikiran kita. Seperti  berfikir bahwa orang lain lebih beruntung, lebih sering mengeluhkan hidup, mengecilkan nikmat yang di berikan Tuhan. Apakah hal ini akan membantumu? Yang terjadi hal ini malah akan semakin memperburuk keadaanmu.
Cobalah untuk bangkit, lihat sekelilingmu dan motivasi dirimu sendiri, lihat dan belajarlah betapa beruntungnya dirimu daripada orang-orang lain yang jauh lebih tidak beruntung daripada kamu.

Rasulullah mengajarkan betapa pentingnya seseorang untuk tetap kuat menjaga kesabaran menjalani dan melewati segala macam kesulitan dan bersabar tentang kesulitan-kesulitan yang dia hadapi. Bahkan sampai beliau bersabda:
"Iman terbagi dua separuh dalam sabar dan separuh dalam syukur." (HR.Al-Baikaqi)
Kalau Rasulullah saja membagi iman dalam dua kategori tersebut, masih adakah alasan kita untuk tetap tidak bersabar dalam menghadapi sebuah permasalahan atau kesulitan hidup?


Berusaha

Mengusahakan sesuatu dalam hidup lalu memperjuangkannya semaksimal mungkin adalah hal yang sangat penting untuk di lakukan. Akan tetapi pada kenyataannya kita cenderung tidak maksimal dalam mengusahakan sesuatu, merasa sudah maksimal tapi ternyata belum. Berharap ingin mencapai hasil yang maksimal tanpa berusaha yang maksimal apa bisa?

Aku pernah membaca sebuah cerita yang sangat bagus, tentang makna berusaha semaksimal mungkin sampai batas kemampuan kita (menurut kesanggupan kita). Dalam bahasa di Al-Quran, hal ini di sebut dengan istilah mastatho’tum.

"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. 64:16)

Ini adalah cerita tentang syekh Abdullah Al-Azzam, suatu ketika syekh ditanya oleh muridnya. Ya syekh, apakah yang di maksud dengan mastatho’tum (semampumu).

Syekh pun membawa murid-muridnya ke sebuah lapangan dan meminta mereka untuk berlari mengelilingi lapangan tersebut semampu mereka. Startnya sama tetapi finish dan jumlah putaran masing-masing berbeda. Ada yang 3 kali putaran sudah capek, ada yang lebih dari itu.

Setelah muridnya menepi semua, syekh tersebut pun berlari mengelilingi lapangan itu, para muridnya pun kaget dan tidak tega melihat gurunya yang sudah tua berlari. Sang syekh sudah terlihat pucat pasi dan lelah, tetapi tidak terlihat dari syekh itu untuk tidak melanjutkan larinya. Sampai akhirnya syekh tersebut jatuh pingsan.

Para muridnya pun berlari untuk membangunkannya. Saat syekh tersebut siuman, beliau langsung mengatakan “inilah yang dinamakan semampu kita (mastatho’tum). Kita berusaha semaksimal mungkin sampai Allah sendiri yang menghentikan perjuangan kita”.

Orang pemalas dan gampang menyerah sering kali dengan cepat mengatakan bahwa dia telah berusaha dengan maksimal. Dia mengatakan “sudah tidak bisa lagi” atau "sudah tidak mampu lagi" padahal yang sebenarnya terjadi adalah “sudah tidak mau lagi, malas, capek”.

Aku rasa sudah terlalu banyak sekali contoh, begitu mudah kita mengatakan tidak sanggup atau tidak bisa, kenyataanya kita masih bisa. Pertanyaan yang membedakan adalah: “sudah tidak mampu atau sudah tidak mau?”